Kota Hijau Jakarta

NIRWONO JOGA

Tepat hari ini (5/6) seluruh umat dunia memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Untuk kesekian kalinya pula kita diingatkan kembali akan nasib bumi yang semakin panas. Lewat An Inconvenient Truth, Al Gore sukses mengampanyekan pemanasan global ke seluruh dunia.

Kota metropolitan sebagai lingkungan buatan merupakan salah satu penyumbang terbesar gas karbon dioksida (CO>subresres
Gayung bersambut, kesadaran bersama pihak pemerintah, pengembang, perencana, dan warga kota berkomitmen mengintegrasikan kebijakan pembangunan berkelanjutan di semua kegiatan operasional mereka.

Dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Sedunia dan pemanasan global digelar kompetisi kota hijau (green city) se-Amerika Serikat dan berbagai belahan dunia, seperti Adipura.

Jakarta harus menjadi kota hijau karena kota kita tengah menuju bunuh diri ekologis dan bunuh diri perkotaan. Degradasi kualitas lingkungan seperti abrasi pantai, intrusi air laut (korositas fondasi bangunan gedung dan jalan), krisis air bersih dan pencemaran air tanah, serta amblesan tanah.

Kota terjebak kemacetan lalu lintas kronis dan pencemaran udara yang pekat. Kebakaran di permukiman padat mencapai puncak pada musim kemarau. Banjir segera (pasti) menenggelamkan kota.

Kota hijau didukung sistem jaringan RTH terstruktur meliputi taman/kebun rumah, taman lingkungan, taman kota, lapangan olahraga, makam, hutan kota/kebun raya, dan daerah tangkapan air (situ/waduk/danau) dihubungkan koridor pepohonan jalur hijau jalan, bantaran rel kereta api, saluran umum tegangan tinggi, dan kali, serta hutan lindung kawasan industri dan pengolahan sampah.

Untuk mewujudkan kota hijau, Jakarta harus mereformasi perencanaan kota lebih transparan dan akuntabel. Misinya sederhana: “apabila Anda keluar rumah, maka Anda berada di taman”.

Misi dijabarkan dalam Rencana Induk RTH secara konsisten. Luas RTH kota hijau merujuk UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Permendagri Nomor 1 Tahun 2007 tentang RTH di Wilayah Perkotaan minimal 30 persen dari total luas kota (20 persen RTH publik, 10 persen RTH privat).

Pembangunan RTH baru berupa taman evakuasi bencana di perkampungan padat penduduk dan padat bangunan, taman kota, makam, lapangan olahraga, hutan kota/kebun raya, hutan mangrove, situ/danau buatan, jalur hijau jalan, kolong jalan layang, bantaran kali, rel kereta api, dan saluran tegangan tinggi untuk menambah luasan daerah resapan air dan paru-paru kota secara signifikan.

Revitalisasi dan mengembangkan ekodrainase dan ekowisata situ dan hutan mangrove sebagai daerah tangkapan air. Taman-taman lingkungan yang diperkeras (lapangan olahraga, pos siskamling, parkir kendaraan warga), halaman sekolah dan perkantoran dihijaukan (rumput dan pohon) agar mempunyai daya serap air lebih besar dan diberi insentif pemerintah (keringanan pajak).

Refungsionalisasi jalur hijau bantaran kali, bantaran rel kereta api, kolong jembatan dan jalan layang, saluran tegangan tinggi dari permukiman liar dengan bijaksana, manusiawi, dan komprehensif. Akibat keterbatasan lahan, pemerintah mendorong masyarakat untuk (sukarela) tinggal di rumah susun, atau apartemen agar RTH bertambah luas.

Akibat keterbatasan lahan, tren pembangunan RTH ke atap-atap bangunan (mal, apartemen, hotel, gedung perkantoran, sekolah, rumah sakit, rumah) menjadi taman atap. Penghijauan atap bangunan terbukti mampu menurunkan suhu kota dan menyerap gas polutan.

NIRWONO JOGA Arsitek Lanskap

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0706/05/metro/3574942.htm